Humor Sufi

ΞSaturday, June 23, 2007|→

Ada beberapa tulisan mengenai humor sufi yang aku dapet dari rileks.comlabs, silahkan menikmati yah:



Nasib itu Tak Logis

Nasrudin sedang berjalan-jalan dengan santai, ketika tanpa permisi ada orang jatuh dari atap rumah dan menimpanya. Orang yang terjatuh itu tidak terluka sama sekali, tetapi Nasrudin yang tertimpa malah menderita cedera leher. Ia pun diangkut ke rumah sakit. Para tetangganya datang menjenguknya, mereka bertanya,

''Hikmah apa yang didapat dari peristiwa itu, Nasrudin?''
''Jangan percaya lagi pada hukum sebab akibat,'' jawabnya.
''Orang lain yang jatuh dari atap rumah, tetapi leherku yang jadi korbannya. Jadi tidak berlaku lagi logika,
''Kalau orang jatuh dari atap rumah, lehernya akan patah!''



Ijma' dan Fatwa Bid'ah

Ketika para ulama, filusuf dan para cendekiawan datang untuk mengetahui bahwa Nasruddin menodai kehormatan mereka di desa-desa terdekat dengan mengatakan:

"Orang-orang yang disebut bijak adalah bodoh dan bingung," mereka menuduhnya merusak keamanan negeri.
Mullah ditangkap dan kasusnya diajukan ke Pengadilan Raja.
Raja: "Anda boleh bicara lebih dulu."
Mullah: "Berilah saya pena dan kertas."
Maka pena dan kertas pun diberikan.

Mullah: "Bagikan pena dan kertas itu kepada tujuh ulama." Pena dan kertas pun dibagikan.
Mullah: "Biarlah mereka secara terpisah menulis jawaban atas pertanyaan berikut: 'Apakah roti itu?'"
Ketujuh ulama itu telah menulis jawaban masing-masing atas pertanyaan Mullah tadi.
Kemudian kertas jawabannya diserahkan kepada raja yang membacanya dengan keras satu per satu:
Yang pertama mengatakan: "Roti adalah makanan."
Yang kedua mengatakan: "Roti adalah tepung dan air."
Yang ketiga: "Itu adalah adonan yang dibakar."
Yang keempat: "Sebuah pemberian Allah."
Yang kelima: "Berubah-ubah, menurut bagaimana Anda mengartikan roti."
Yang keenam: "Roti adalah zat yang mengandung nutrisi."
Yang ketujuh mengatakan: "Tidak seorang pun tahu dengan jelas."

Setelah mendengar semua jawaban itu, Mullah berkata kepada raja,
"Bagaimana Anda bisa meyakini penilaian dan pertimbangan bagi orang-orang tersebut? Jika mereka tidak bisa menyepakati sesuatu yang dikonsumsinya sehari-hari, bagaimana mereka bisa dengan suara bulat menyebut saya seorang bid'ah?"



Arti Takdir

Beberapa kawannya minta Mullah menjelaskan arti takdir kepada mereka.
"Takdir bisa dirumuskan sebagai salah satu penerimaan," kata Mullah.
"Misalnya, kalau sesuatu berjalan baik dan kita telah menduga akan berjalan salah, maka kita menerimanya sebagai nasib yang baik. Sekarang kalau sesuatu berjalan jelek, dan kita telah mengharapkannya berjalan baik, maka kita terima hal itu sebagai nasib jelek. Tetapi apabila kita menerima sesuatu yang baik atau buruk itu mungkin datang sebagai jalan kita, maka kita sebut itu takdir." dari parodi sufi


Sop Panas, Tangan Dingin

Seorang laki-laki yang mendengar bahwa Nasrudin adalah orang yang amat bijaksana, bertekad mengadakan perjalanan guna menemuinya.
"Aku bisa mempelajari sesuatu dari orang bijaksana seperti ini," pikirnya.
"Dan, pasti ada metode-metode tertentu dalam kegilaannya. Aku sendiri pernah belajar di sekolah-sekolah metafisik. Ini akan membuatku bisa menilai dan mempelajari kegagalan orang lain."

Selanjutnya, ia mengadakan perjalanan yang amat melelahkan untuk sampai ke rumah Nasrudin yang kecil, berada di lereng sebuah bukit. Melalui jendela, laki-laki itu melihat Nasrudin sedang membungkuk di samping bara api, mencoba meniupnya ke arah tangannya yang ditekuk.

Ketika kehadirannya diketahui, laki-laki ini bertanya kepada sang Mullah tentang apa yang sedang dikerjakannya.
"Menghangatkan tanganku dengan napasku," kata Nasrudin memberi tahu.
Setelah itu, keduanya sama-sama diam, sehingga pencari ilmu ini mulai berpikir apakah Nasrudin bersedia membagi kebijaksanaannya. Sekarang, istri Nasrudin ke luar membawa dua mangkuk kaldu.

"Mungkin sekaranglah saatnya aku mempelajari sesuatu," kata si pencari ilmu kepada dirinya sendiri.
Dengan suara keras, ia bertanya, "Apa yang sedang engkau lakukan, Guru?"
"Meniup kalduku dengan napasku agar dingin," kata sang Mullah.
"Tak salah lagi, ini orang, pasti penipu," kata sang tamu kepada dirinya sendiri.
"Tadi dia bilang, meniup agar panas, lalu barusan dia berkata, meniup agar dingin. Bagaimana aku bisa percaya dengan apa yang ia akan katakan kepadaku?"
"Bagaimana pun, waktu tidak sia-sia," katanya kepada dirinya sendiri, ketika ia menuruni bukit.
"Paling tidak, aku sudah tahu bahwa Nasrudin itu bukan seorang guru."

0 komentar: