Sayap

ΞSunday, March 9, 2008|→

Kuambil HP Motorola yang berdering di atas meja kecil, disamping komputerku yang kini dihadapanku. Kulihat tulisan yang berkedip-kedip di layar, “DILA CALLING...”. Sekejap aku berpikir, tapi langsung aku terima teleponnya,


“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam” jawabku


Dahiku berkerut. Suara Dila begitu mendesah dan bernada sedih

“Mmm...”Aku bergumam memancing dia bicara, soalnya setelah 5 detik ini dia belum memulai pembicaraan.

“Ma...bisa ke rumahku nggak?” katanya lirih.


Jarang sekali, bahkan gak pernah Dila dengan tiba-tiba menyuruhku untuk kerumahnya. Aneh, batinku.

“Ke Rumahmu?”
“Iya”
“Sekarang?” tanyaku bingung, masih berfikir ada apa sebenarnya
“E...kalo bisa sih?”


Aku lihat jam di dinding kosanku. Aku ada janji sama temenku untuk pergi ke BEC setengah jam lagi.

“Ya udah. Tunggu ya. Eh, emangnya ada apa sih?” tanyaku mencoba mencairkan pembicaraan yang menurutku kaku ini.
“Nggak enak kalo diomongin lewat telepon...”
“Nyante aja, i’ll be there soon
Makasih ya Ma...Bye...

Tut..tut..tut...


---****---


Di teras rumah Dila aku menunggu, mencoba mengira-ngira apa yang akan dikatakan Dila. Sejenak dia datang membawa piring dan dua gelas jus jeruk dan kemudian menaruh martabak yang tadi aku bawa ke piring.

“Pada kemana bokap-nyokap?”
“Pergi semua. Sendirian aku sejak pagi tadi”
“Nggak kuliah?”


Dila menggelengkan kepalanya. Aku mengambil gelas dan meminum jus jeruk di meja, menunggu Dila memulai percakapan.

“Ma, ayuk kita keluar ya...”

Kupandangi wajah Dila, mecoba menerka apa yang ada di pikirannya. Aneh betul, sejak berteman akrab selama 1 tahun baru kali ini Dila mengajak keluar. Hanya berdua lagi.

“Kemana?” kulirik jam tanganku, masih terpikir janji ama temenku di BEC nanti
“Ke kebun teh di atas yuk” katanya
Haaahhh, ke kebun teh, sore-sore begini, emangnya mau ngapain.
“Ayuklah, bentar aja...” dia tersenyum manja, ah, mana bisa aku menolaknya. Aku pun mengangguk.


---****---


Aku parkirkan motorku di dekat gubuk di pinggir jalan yang jualan jagung bakar. Dila lagi asyik menikmati udara segar dengan melebarkan tangannya, memejamkan matanya dan menarik nafasnya dalam-dalam. Rambutnya yang terurai panjang dibuai angin gunung. Sweater merah jambu yang dikenakannya membuatnya tampak manis sekali. Dia kemudian berjalan ke arah kebun teh di pinggir jalan, naik gundukan tanah dan berjalan naik ke bukit. Di tengah-tengah kebun teh di bukit itu dia menoleh kepadaku.


“Maaaa!!!....Ayuk kesini naik ke atas!”


Aku tersenyum kepadanya lalu memandang sepatuku yang baru tadi aku cuci tadi pagi, sepertinya sepatuku hari ini kurang beruntung.

Di puncak bukit, ada sepetak tanah kecil kosong yang aku rasa ini sebagai tempat para pemetik teh untuk beristirahat. Kami duduk di sana, memandangi hamparan tanaman teh yang seperti karpet hijau. Angin dingin ini membuatku damai.


Setelah 1 menit menikmati suasana dan pemandangan yang begitu indah, Dila berbicara.

“Ma..”, ujarnya masih tetap memandang ke arah matahari yang mulai tenggelam, “Bagaimana kalau hari esok tidak datang?”

Aku pandangi Dila. Aneh betul dia hari ini. Aku nggak segera menjawabnya, menyusun kata-kata yang tepat. Perasaan aku pernah dah mendengar pertanyaan seperti ini.

“Kalau esok nggak ada aku akan melakukan hal yang terbaik hari ini, minta maaf kepada semua orang yang pernah aku sakiti dan membahagiakan orang yang aku sayangi.”

“Apakah semua itu bisa kamu lakukan dalam satu hari?”

“Mmmm...semoga saja bisa”, jawabku serius, tapi Dila malah ketawa. Aku diam saja, menatap kepulan asap jagung bakar dari arah gubug tadi.

“Ma...”, dia menarik ujung lengan kaosku. Dia memandangiku dengan penuh perasaan, “Aku minta maaf yah…”


Bergetar hatiku dan berhenti nafasku. Bukan karena ucapan yang baru dia katakan, that’s because the way she look deeply at me. Dan kita tetap berpandangan mata lama, tanpa suatu kata pun terucap.


Tuhan, terima kasih, aku yakin telah menemukan tulang rusukku.



To really love a woman
To understand her - you gotta know her deep inside
Hear every thought - see every dream
N' give her wings - when she wants to fly
Then when you find yourself lyin' helpless in her arms
Ya know ya really love a woman

(Bryan Adams, Have You Really Love a Woman)



(sudah lama aku tidak menulis sebuah cerpen, dan cerpen diatas aku buat hampir satu tahunan, nggak kelar-kelar, padahal pendek gini. Bayanganku sih, sewaktu menulis pertama kali, ceritanya bakal lebih complicated dan lama, tapi entah kenapa aku segera ingin mengakhirinya, tapi mungkin cerita ini akan bersambung, tapi entahlah,,,)

0 komentar: